Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, jika mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian, pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan senang. Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan sampai Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu.
Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu menentukannya selain Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masing-masing tanpa menyakiti istri yang lain. Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu.
Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.” Asy – Syaikh Abdul Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di atas untuk menunjukkan bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat.
Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincang-bincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar parah. Al – Imam al –
Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan, “Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?” Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam. Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.” Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yang memakai dua potong pakaian kedustaan(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan seperti dalam hadits di atas agar para perempuan menjauhi perbuatan tersebut, karena akibat yang ditimbulkannya tidaklah remeh. Perbuatan itu bisa merusak hubungan suami dengan si madu yang dipanas-panasi dan bisa membuat kebencian di antara keduanya, sehingga perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari 9/394—395)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu menentukannya selain Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masing-masing tanpa menyakiti istri yang lain. Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu.
Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.” Asy – Syaikh Abdul Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di atas untuk menunjukkan bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat.
Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincang-bincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar parah. Al – Imam al –
Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan, “Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?” Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam. Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.” Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yang memakai dua potong pakaian kedustaan(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan seperti dalam hadits di atas agar para perempuan menjauhi perbuatan tersebut, karena akibat yang ditimbulkannya tidaklah remeh. Perbuatan itu bisa merusak hubungan suami dengan si madu yang dipanas-panasi dan bisa membuat kebencian di antara keduanya, sehingga perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari 9/394—395)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
0 komentar:
Post a Comment